Senin, 19 Januari 2015

Tercemarnya sungai-sungai di Karawang akibat ulah industri nakal





KARAWANG — Hampir sebagian besar sungai yang ada di Kabupaten Karawang, sudah tercemar limbah industri. Bahkan, kondisi yang paling parah, terjadi di sepanjang Sungai Cilamaya.. Akibat dari pencemaran ini, sekitar 930 hektare tambak tak bisa lagi dimanfaatkan oleh pemiliknya. Pasalnya, air yang biasa mengairi tambak itu warnanya telah berubah menjadi merah dan mengeluarkan bau yang menyengat. Kabid Pengawasan dan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH) Karawang, Unang Saefudin, mengatakan, jumlah perusahaan yang membuang limbah cairnya ke sungai, sebanyak 61 perusahaan. Perusahaan tersebut, membuangnya ke Sungai Cilamaya, Cikarang Gelam, Cibeet dan Sungai Induk Tarum Barat. Sedangkan pencemaran yang terjadi di Sungai Cilamaya, saat ini kondisinya sudah sangat parah. Tapi, setelah diselidiki oleh instansinya, ternyata yang membuang limbah cair ke sungai tersebut, perusahaannya berada di Purwakarta dan Subang. ”Kami memiliki data, lima perusahaan yang mencemari Sungai Cilamaya adalah, PT Abata (Karawang), PT Sanfu dan PT BMP (Purwakarta), dan PT ABB serta PT Gede Karang (Subang),” ujarnya, kepada Republika, Ahad (23/8). Diakuinya, pihaknya belum menindak perusahaan yang telah membuang limbahnya ke sungai. Pasalnya, pihaknya belum mendapatkan bukti yang akurat untuk menjerat perusahaan ‘nakal’ tersebut. Karena, saat mengambil air baku Sungai Cilamaya yang lokasinya dekat dengan PT Abata, tak ditemukan indikasi adanya pencemaran. Pencemaran itu terlihat, ketika petugas mengambil air dari hulu sungai tersebut. ”Setelah diambil, airnya terindikasi tercemar. Tapi, perusahaan yang mencemarinya berada di kabupaten lain yang bukan wewenang kami,” katanya beralasan. Disebutkan Unang, untuk mengatasi masalah pencemaran ini, pihaknya tak bisa berjalan sendiri. Pasalnya, sebelum memasuki Karawang, air yang mengalir dari hulu sudah tercemar. Untuk itu, supaya tak menyalahi kewenangan, seharusnya BPLH Jabar dan instansi yang mempunyai kewenangan mengenai sungai, secepatnya turun tangan. Apalagi, petugas yang ada di BPLH Karawang saat ini sangat minim, yakni hanya 39 personil. Petugas yang khusus berada di pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup, kata Unang, hanya enam personel. Itupun yang efektif menjalankan tugasnya hanya tiga orang. Tak hanya itu, kata Unang, pihaknya juga terbentur masalah anggaran yang kecil. ”Dalam setahun anggaran yang kita peroleh hanya Rp 25 sampai Rp 30 juta,” tuturnya. Sementara itu, Kepala UPTD Dinas Perikanan dan Kelautan Cilamaya Kab Karawang, Nurjaman, sejak tahun 2003 yang lalu, Sungai Cilamaya yang biasa dimanfaatkan oleh masyarakat tercemar limbah pabrik. Bahkan, dampak dari pencemaran itu seluas 930 hektare tambak yang ada di Kec Cilamaya Wetan, tak bisa digunakan oleh masyarakat. ”Bila tambak tersebut dimanfaatkan untuk budidaya udang, maka udangnya langsung stres dan mati. Sedangkan bila ditanami ikan, hailnya sulit berkembang. Jadi, para pemilik tambak ini terus merugi,” tuturnya. Meskipun tingkat pencemaran ini sudah diatas ambang layak, kata Nurjaman, instansi terkait belum ada yang turun ke lapangan. Sehingga, kinerja petugas dari instansi terkait terkesan tidak optimal. Padahal, kasus pencemaran ini sepenuhnya ditangani oleh BPLH. ”Kalau kami turut campur, nanti menyalahi aturan. Namun, yang jelas akibat pencemaran ini budidaya tambak menjadi terpuruk,” kata Nurjaman. Tak hanya limbah cair, limbah batu bara (B3) disinyalir telah mencemari DAS Tarum Barat.. Sekertaris Koalisi Pemantau Limbah Bahan Beracun Berbahaya Indonesia (KPLB3I), Antonius Naibaho, menyebutkan kondisi pencemaran di sepanjang saluran induk Tarum Barat dinilai parah. Hal itu, terlihat dari pembuangan limbah batu bara baik berupa di titik penampungan maupun titik-titik lain di bantaran saluran induk Tarum Barat. ”Kandungan zat kimianya bisa dengan cepat menyerap tanah dan air. Itu pun bisa dengan mudah mencemari warga yang tinggal di sekitar bantaran yang memanfaatkan air tersebut,” kata Antonius. Lebih jauh Antonius menjelaskan, bahwa pemerintah daerah baik tingkat kabupaten/kota maupun propinsi memiliki tanggung jawab pengawasan dalam pengelolaan lingkungan. Khusus soal limbah B3, lanjut Antonius, pemerintah seharusnya mengarahkan sumber penghasil limbah membuang limbah B3 seperti batu bara ke tempat pembuangan sekaligus pengolahannya yaitu Perusahaan Pengolah Limbah Indonesia (PPLI). Pasalnya, perusahaan yang terletak di Jakarta itu, dibiayai oleh tiga negara untuk mengolah limbah B3 di Pulau Jawa. ‘Jika ada yang dibuang sembarangan seperti di Karawang, berarti Pemkab Karawang dan Pemprov Jawa Barat lalai mengawasinya,” ujar Antonius. Selain itu, kata Antonius, pemerintah juga bertanggung jawab atas pemakaian lahan tata air. Ia menyebutkan bahwa dalam aturan tentang daerah aliran sungai (DAS), tidak boleh terdapat hunian dalam radius 300 meter, apalagi pabrik. Pada kenyataannya, disepanjang DAS Tarum Barat ini, ada pabrik penampungan dan pengolahan limbah B3. Menurut Antonius, untuk masalah saluran induk Tarum Barat, seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat seperti Dirjen Pengairan, Bappenas, dan Kementrian Lingkungan Hidup. Pasalnya 80 persen air dari Tarum Barat itu dikonsumsi warga Bekasi dan Jakarta. Selain itu, air harus dipelihara dan dilindungi dari sumber pencemar seperti limbah dan solid waste (sampah). Di tingkat daerah, pemimpin daerah mesti berkomitmen memperjuangkan lingkungan karena masyarakat berhak sehat.

Menurut pendapat saya seharusnya pemerintah membuat suatu undang-undang yang mewajibkan bagi setiap industri untuk mengolah limbah dari proses produksinya, dan bagi industri yang melanggar undang-undang tersebut hendaknya diberikan suatu sanksi yang tegas dan berat. kalo bisa diberikan denda yang jumlahnya melebihi dari jumlah apabila membuat alat pengolahan limbah itu sendiri, sehingga tidak ada pilihan lain dari para pelaku industri untuk mengolah limbahnya.

referensi: http://hendy13014.blog.teknikindustri.ft.mercubuana.ac.id/?p=58


Tidak ada komentar:

Posting Komentar